Kontribusi Positif Cooperative Security terhadap Disarmament di Kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur

February 6, 2017 Disarmament

ASEAN adalah bentuk pengaturan cooperative security di kawasan Asia Tenggara yang cukup berhasil. Model cooperative security tersebut dapat diterapkan di kawasan yang lebih luas. Hal tersebut ditekankan oleh Duta Besar/KUAI PTRI Jenewa, R.M. Michael Tene dalam diskusi yang diselenggarakan di Kantor PPB Jenewa oleh Strategic Concept for the Removal of Arms and Proliferation (SCRAP) dan Centre for International Studies and Diplomacy, School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London yang dimoderatori oleh Duta Besar/Watap Swiss untuk Conference on Disarmament, Sabrina Dallafior Matter.
“ASEAN yang didirikan pada tahun 1967 merupakan contoh sukses dari cooperative security,” demikian disampaikan oleh KUAI PTRI Jenewa. Ditegaskan bahwa  dibandingkan pada saat pembentukan ASEAN dimana masih terdapat konfrontasi antar negara di Asia Tenggara, saat ini Asia Tenggara merupakan kawasan yang stabil dan aman sehingga memungkinkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kerjasama ASEAN antara lain berhasil menurunkan persepsi ancaman antar negara ASEAN.
Ditekankan pula bahwa cooperative security telah berkontribusi terhadap penciptaan kawasan bebas nuklir di Asia Tenggara melalui penguatan trust dan confidence building measures. Hal ini telah terwujud dengan penandatanganan Traktat SEANWFZ tahun 1995. Namun demikian, cooperative security juga memiliki keterbatasan, misalnya dalam mengatasi tantangan-tantangan, seperti isu Laut China Selatan dan program nuklir DPRK. Walaupun  demikian cooperative security dalam jangka panjang memiliki peran penting dalam hal penguatan trust dan confidence-building measures yang dibangun melalui ASEAN-led mechanisms. ASEAN Plus One, ASEAN Plus Three, ARF dan East Asia Summit adalah upaya ASEAN membangun cooperative security di luar kawasan Asia Tenggara yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan persepsi ancaman dan disarmament di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik.
Diskusi panel yang bertemakan `De-militarising Security through Human Rights to Peace, SDG 16 & Disarmament` juga menghadirkan, Watap Chile untuk PBB di Jenewa, Marta Mauras Perez; Independent Expert on the promotion of a democratic and equitable international order, Prof Afred-Maurice de Zayas; dan Senior Programme Advisor, Geneva Centre for Security Policy, Marc Finaud. Watap Chile menjelaskan bahwa kawasan Amerika Latin sangat berkomitmen terhadap non-proliferation of nuclear weapons dan disarmament, dan hal ini ditunjukkan dengan pembentukan kawasan bebas nuklir di kawasan Amerika Latin dan Karibia, melalui penandatanganan Traktat Tlatelolco pada tahun 1967. Disampaikan pula bahwa di samping disarmament, dialog dan sustainable financing merupakan isu kunci dalam implementasi SDGs.
 Prof Alfred-Maurice de Zayaz beragumen bahwa military spending negara-negara akan lebih bermanfaat apabila digunakan untuk sektor lain seperti kesehatan, pendidikan dan penciptaaan lapangan kerja. Saat ini, kemajuan telah dicapai dengan disepakatinya Deklarasi Right to Peace di Dewan HAM, bulan Juni 2016 yang kemudian disepakati oleh Sidang Majelis Umum PBB pada Desember 2016. Sementara itu, Marc Finaud juga menekankan pentingnya negosiasi Traktat yang melarang nuclear weapons yang akan diselenggarakan tahun ini.
SCRAP_Disarmament_20170214_IMG_1693
 
 
 
 
 
 
 
 
Keterangan Foto : Dubes Michael Tene selaku KUAI PTRI Jenewa sedang menjelaskan mengenai ASEAN sebagai model keberhasilan cooperative security di Asia Tenggara kepada peserta diskusi yang diselenggarakan oleh Strategic Concept for the Removal of Arms and Proliferation (SCRAP) dan School of Oriental and African Studies (SOAS) di Kantor PBB di Jenewa, Swiss (dok. PTRI Jenewa)