Pemberdayaan komunitas di Indonesia menjadi contoh dalam Pembahasan Kemajuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Dewan HAM PBB

March 10, 2017 Human Rights and Humanitarian Issues

Indonesia, Norwegia, Malaysia dan Peru telah selenggarakan pertemuan berjudul “Access to Justice in Juvenile Justice  System: Empowering Communities to Protect Children’s Rights” pada tanggal 9 Maret 2017 bertempat di Markas Besar PBB Jenewa.
Sejumlah pembicara yang merupakan tokoh terkemuka di bidangnya telah hadir dan menyampaikan pengalaman dan pandangannya.
Marta Santo Pais selaku Utusan Khusus Sekjen PBB (SRSG) memaparkan praktik terbaik dan rekomendasi kebijakan terkait implementasi SPPA dalam upaya memperluas akses keadilan bagi anak telah dimuat dalam UN Model Strategies and Practical Measures on the Elimination of Violence against Children in the field of Crime Prevention and Criminal Justice, 2014.
SRSG memberikan apresiasi terhadap implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia dan menekankan bahwa model SPPA Indonesia dapat kiranya menjadi contoh bagi negara lainnya.
Dirjen HAM, Mualimin Abdi, sebagai wakil Indonesia, dalam presentasinya menyampaikan  “sejak penerapan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, telah terjadi penurunan yang signifikan jumlah remaja yang dipenjara, dari 6000 orang di tahun 2012 menjadi  2.644 orang pada tahun  2016”. Disampaikan pula bahwa “pendekatan 3 koridor memungkinkan masyarakat dan pemerintah untuk bekerja sama dalam memperkuat penanganan anak yang bermasalah dengan hukum”.
Anne Li Ferguson, pejabat tinggi Kementerian Kehakiman Norwegia  menyampaikan bahwa dirinya sangat terkesan dengan penerapan SPPA di Indonesia dimana dalam 2 tahun terakhir jumlah anak yang menjalani hukuman di penjara berkurang sebesar 60%. Menurutnya, hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya kerjasama yang baik diantara Indonesia dan Norwegia melalui Dialog HAM antara kedua negara sejak 2002 dimana salah satu ruang lingkup  kerjasama adalah dibidang perlindungan anak.  Melalui dialog, Indonesia dan Norwegia saling berbagi pengalaman dalam menangani kasus anak berhadapan dengan hukum.
John Izaac Minotty Pattiwael, Direktur Bantuan Hukum Mawar Saron, Indonesia berbagi pengalaman dan menyampaikan bahwa perlindungan hak untuk memperoleh bantuan hukum bagi anak yang hadapi masalah hukum, bukan hanya melibatkan aparat penegak hukum tapi penting juga mengikutkan masyarakat khususnya dalam penerapan keadilan restoratif yang merupakan hukum/kebiasaan tradisional yang hidup dalam setiap suku bangsa di Indonesia. Dicontohkan bahwa “konsep ale rasa beta rasa atau I feel what you feel merupakan contoh hukum adat masyarakat (Maluku) yang sejalan dengan konsep keadilan restoratif”.
Acara yang dimoderatori  John Fisher, Direktur Human Rights Watch Jenewa berlangsung  interaktif dan menarik minat sekitar 100 peserta yang merupakan wakil negara, national human rights institutions dan LSM yang sedang menghadiri Sesi ke-34 Sidang Dewan Hak Asasi Manusia (DHAM) PBB.
Para panelis, penanggap, dan moderator menyampaikan apreasiasi yang tinggi atas inisiatif Indonesia ini. Hal ini sekaligus merefleksikan keterbukaan dan komitmen tinggi negara-negara co-sponsors untuk bekerjasama dengan semua pihak dalam rangka melaksanakan perbaikan demi perlindungan anak sebagai generasi penerus.

Jenewa, 9 Maret  2017

 
Side Event - Publish_9112
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Keterangan foto : Dirjen HAM, Mualimin Abdi, sedang menyampaikan paparannya (sumber : PTRI Jenewa)